KOMPAS.com- Sebagai istri Wakil Presiden RI, bisa dikatakan Herawati Boediono memiliki semua fasilitas yang diinginkannya. Namun, perempuan yang besar dalam tradisi keluarga Jawa ini memilih cara hidup yang bersahaja. Resepnya: belajar menahan diri dan bersyukur.
Ini tahun keempat Herawati Boediono menjalani hari-harinya sebagai istri wakil presiden. Tak banyak berubah. Penampilannya tetap sederhana. Tutur katanya tertata. Namun, jika ada hal yang lucu, ia spontan tertawa.
Sebagai perempuan yang dinamis, termasuk senang menyetir sendiri dan antar-jemput suami, Herawati harus melakukan penyesuaian ketika menjadi istri wapres. Ia harus patuh mengikuti aturan protokoler, termasuk ditemani sekretaris pribadi dan pengawal.
”Ketika itu suami saya bilang, kami harus hati-hati karena semua akan terus disorot. Saya itu, kan, dulu, misalnya, ke mana-mana senangnya pakai kaus.... Jadi, ya, banyak penyesuaian. Yang sebelumnya saya enggak tahu, jadi banyak tahu. Sebagai ibu wapres, saya harus tahu diri, harus jadi contoh. Karena kalau saya melakukan hal yang tidak benar, dalam waktu singkat sudah tersebar ke mana-mana,” kata Herawati dalam perbincangan dengan Kompas di kediamannya di Jalan Diponegoro, Jakarta, Kamis (12/9).
Beratkah penyesuaian itu? Herawati mengakui, pada awalnya ia memang kaget. ”Tapi, saya lakukan dengan senang hati. Semua yang dilakukan dengan senang hati itu jadi mudah,” lanjutnya.
Kiatnya adalah menahan diri. Misalnya, ia dan keluarga sebetulnya bisa bepergian ke mana pun, entah ke mal atau bahkan ke pantai. Namun, itulah, Herawati tidak ingin membuat susah para pengawalnya. ”Kasihan pengawal, kalau sampai ada apa-apa mereka yang tanggung jawab. Jadi, untuk sementara keinginan jalan-jalan atau makan di warung kami tahan dulu,” ujarnya.
Sekitar satu tahun lagi jabatan suaminya sebagai wapres akan selesai. Artinya, Herawati akan kembali ke dunia ”normal”, dunia tanpa aturan protokoler dan pengawalan. Akankah ia merasa kehilangan? ”Wah, kalau soal pengawalan, sekarang juga kalau bisa, sih, tidak dikawal,” katanya dengan derai tawa.
Ia, misalnya, juga harus bersiap hidup dalam kemacetan jalan raya karena tak akan ada lagi voorrijder yang membantunya. ”Ya, itu benar. Selama di sini, saya tidak pernah merasakan macet. Tapi, harap diketahui, di samping senang tidak kena macet, pada saat bersamaan muncul perasaan tidak enak. Karena sewaktu mobil kami melaju dengan enak, di kiri-kanan jalan itu penuh mobil yang berhenti. Saya dalam hati selalu bilang, ’Maaf, maaf ya, saya numpang lewat....’ Karena saya tahu bagaimana rasanya distop. Kan, pernah merasakan juga,” katanya. Pensiun
Jika jabatan resmi berakhir pada 2014 nanti, Herawati dan suaminya telah menyusun rencana pensiun. ”Daftar paling atas adalah menengok cucu di Singapura dan pulang ke Yogya,” katanya cepat. ”Saya juga berharap suami dapat mengajar lagi di tempat yang lama (Universitas Gadjah Mada), tapi itu tentunya kalau diperlukan,” ujarnya.
Yogyakarta merupakan pelabuhan hati pasangan Herawati-Boediono. Baginya, kerukunan dan kekompakan warga di kompleks tempat tinggalnya di Sawit Sari tak pernah bisa dilupakan. ”Itu selalu membuat saya kangen. Kompak sekali.”
Saling mengerti dan percaya adalah kiat pasangan yang sebetulnya berbeda karakter ini. Herawati orangnya ramai, Boediono pendiam. ”Kami jarang mengobrol. Yang banyak bicara itu saya. Saya itu berusaha tanya-tanya, tapi jawabnya pendek-pendek. ’Acaranya gimana, Pak?’ Bagus. ’Yang bagus apanya, Pak?’ Semuanya. Ya, begitulah ngobrol-nya.”
Bahasa hati merupakan bahasa mereka. ”Hanya dari gerakan, isyarat, atau tatapan mata, saya bisa mengetahui, o... ini sedang sedih, o... ini sedang gelisah, o... ini sedang senang,” tambahnya.
Namun, diam tak berarti tidak romantis. Tiap malam, sepulang kerja, Boediono dan Herawati selalu meluangkan waktu mendengarkan musik tempo dulu atau tembang wayang.
Sambil berpegangan tangan? ”Ha-ha-ha. Mau bilang ya, gimana ya...,” kata Herawati sambil tersipu. Sederhana
Kesederhanaan dan kesantunan yang selalu diperlihatkan oleh pasangan Herawati-Boediono datang dari tradisi Jawa yang kental dalam keluarga. ”Karena saya keluarga Jawa, dalam kehidupan sehari-hari saya menekankan kebiasaan Jawa, coro Jowo.”
Herawati secara sadar mengajarkan sikap sabar dan menahan diri sebagai benteng untuk menahan hawa nafsu. Nilai yang mulai terasa langka di tengah maraknya perilaku koruptif di Indonesia.
Ia mencontohkan, jika anak-anaknya minta dibelikan sesuatu, ia akan balik bertanya: tabunganmu sudah berapa? ”Setiap bulan mereka dikasih uang jajan, jadi mereka harus bisa mengelola uang. Kalau tabungan kurang, minta orangtua itu biasa. Tapi, yang penting mereka harus menahan diri dulu sampai mampu. Jangan ngambil uang adik atau kakaknya.” Persahabatan
Yang pasti, ada hal yang bakal membuatnya merasa kehilangan setelah 2014 nanti. Itu adalah persahabatan dengan para ibu yang tergabung dalam Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas). Pagi itu, di kediamannya hadir sejumlah pengurus Dekranas, yaitu Dewi T Mallarangeng, Dana Iswara, dan asisten pribadi Herawati, Juni KF Djamaloeddin.
”Saya bakal kangen kumpul ibu-ibu yang baik ini. Karena kalau sudah keluar dari sini, enggak bisa kumpul di Dekranas lagi. Kekompakan ibu-ibu di Dekranas dan Dekranasda itu membanggakan.”
Menurut rencana, Dekranas akan menyelenggarakan Pameran Peranti Saji Indonesia di JCC, Jakarta, pada 19-22 September 2013. Pameran ini akan diikuti lebih dari 200 stan dari berbagai kalangan, mulai dari BUMN sampai pelaku usaha kuliner. Pameran yang baru pertama kali diadakan ini bertujuan untuk mengangkat kembali produk unggulan daerah, khususnya budaya kuliner.
Herawati mengatakan, potensi ekonomi peranti saji cukup menjanjikan karena saat ini sudah menjadi gaya hidup. Itu sebabnya, pameran ini juga ingin menarik kalangan hospitality industry, seperti hotel, restoran, dan kafe.
”Saya pernah minum teh di sebuah hotel di luar negeri. Cangkirnya bagus sekali. Setelah saya habiskan airnya, cangkirnya saya balik. Di situ tertulis Made in Indonesia.”
Jadi, mari berbangga pada produk negeri sendiri.
Editor : Hindra Liauw