Oleh:
DARI berbagai sumber, penulis sudah bisa membaca RUU Penyiaran versi pemerintah yang menjadi pendamping RUU inisiatif DPR. Rencananya RUU ini segera dibahas bersama dalam waktu dekat.
Mengejutkan karena RUU Penyiaran versi pemerintah bersifat chauvinis dan otoritarian. Pemerintah menjadi regulator utama yang dominan: sebagai pembuat kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian, memotong peranan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Selain tidak membangun sistem dan kompetisi yang sehat, juga melemahkan dan menghambat pertumbuhan industri.
Banyak peraturan turunan yang masih harus dibuat pemerintah. Ini dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya negosiasi dan ekonomi rent seeking. Seharusnya sistem penyiaran Indonesia dibangun berdasarkan UUD 1945 dan prinsip universal yang demokratis, terperinci, dan jelas. Paradigma otoritarian
Pada bagian menimbang dan mengingat, RUU versi pemerintah membuang Pasal 18, 18 A, 18 B tentang otonomi daerah yang dijadikan dasar penting oleh RUU versi inisiatif DPR dalam membangun desentralisasi dan demokrasi. Pada bagian penyelenggaraan penyiaran, Pasal 6, RUU versi pemerintah memasukkan pasal otoriter yang disebut dengan pasal pembinaan.
Penyiaran dikuasai negara dan pembinaannya dilakukan pemerintah. Selanjutnya, yang dimaksud pembinaan adalah penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian.
Pada bagian Sistem Penyiaran Nasional, Pasal 8, pemerintah menguasai dan mengontrol segalanya, dengan menyatakan: spektrum frekuensi radio dikelola oleh pemerintah, penyelenggara penyiaran adalah pemerintah dan dapat memberikan hak penyelenggaraan penyiaran kepada lembaga penyiaran dalam bentuk izin penyelenggaraan penyiaran dan juga dapat mencabut izin (Pasal 63).
Pemerintah mengontrol dan menguasai Lembaga Penyiaran Publik (LPP) dengan menyatakan bahwa LPP didirikan oleh pemerintah. LPP terdiri atas LPP Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) dan LPP lokal. Dewan Pengawas RTRI diangkat oleh presiden dan direksi ditetapkan oleh menteri. Demikian juga dengan LPP lokal, peranan gubernur dan bupati/wali kota menjadi dominan. Ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Seharusnya LPP tidak boleh menjadi corong dan alat pemerintah. LPP harus independen.
Berdasarkan World Radio and Television Council tahun 2002, telah dirumuskan prinsip-prinsip utamanya, yaitu bahwa lembaga ini bukan lembaga komersial dan bukan lembaga yang dikontrol pemerintah. Alasan utama kehadirannya (raison d’etre) ialah melayani publik; berbicaa kepada setiap warga negara; serta membangun dan memajukan pengetahuan, memperluas cakrawala berpikir, dan memberdayakan masyarakat (Banerjee, 2006).
Prinsip ini telah terdapat dalam UU Penyiaran sebelumnya dan juga dinyatakan oleh RUU Inisiatif DPR. Meletakkan LPP sebagai alat dan corong pemerintah adalah pengkhianatan terhadap reformasi dan demokrasi. Matikan penyiaran swasta
RUU versi pemerintah ini tak jelas menggambarkan sistem apa yang akan dibangun. Melalui Pasal 28, 29, dan 30 akan terdapat (1) Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) Radio Nasional Via Satelit; (2) LPS Radio Lokal Terestrial; (3) LPS Televisi Nasional Via Satelit; (4) LPS Televisi Lokal Terestrial; dan (5) LPS Televisi Terestrial Jaringan.
Ini adalah sistem penyiaran campur aduk yang membuat persaingan liar. Pembatasan jumlah LPS nasional terestrial masih harus ditentukan oleh peraturan menteri. Ini membuka peluang negosiasi dan kegiatan rent seeking yang berbahaya buat demokrasi.
Selanjutnya, RUU versi pemerintah mengatur ketat dan berlebihan penguasaan dan kepemilikan LPS, baik langsung maupun tidak langsung, tanpa jelas referensinya. Sebagai contoh, jika ada dua atau lebih badan hukum atau perseorangan yang memiliki hubungan kepemilikan saham, hubungan keluarga, hubungan kerja sama (acting in concert), itu dianggap sebagai satu pihak (Pasal 35). Selanjutnya, pemusatan kepemilikan pada satu atau beberapa LPS oleh satu pihak dibatasi sebagai berikut: (a) sebesar 100 persen pada LPS pertama; (b) sebesar 49 persen pada LPS kedua; (c) sebesar 20 persen pada LPS ketiga; (d) sebesar 5 persen pada LPS keempat; dan seterusnya.
Lewat ketentuan seperti ini akan hancurlah industri televisi swasta. Orang tidak berminat investasi karena tidak menarik. Seharusnya pembatasan penguasaan dan kepemilikan berdasarkan referensi yang jelas. Sebagaimana RUU inisiatif DPR menyatakan, antara lain, bahwa seseorang atau satu badan hukum tidak boleh menguasai dan memiliki lebih dari satu LPS di satu wilayah siar dengan masa transisi tiga tahun.
Referensi RUU inisiatif DPR berasal dari Australia, Amerika, dan negara demokratis lainnya. Kita memang harus membongkar konsentrasi kepemilikan dan keserakahan pemilik televisi saat ini, tapi bukan dengan membunuh industri. Harus dengan langkah rasional dan sehat untuk kegairahan persaingan usaha. Menyunat peranan KPI
RUU versi pemerintah memotong peran KPI dengan menjadikannya hanya sebagai Komisi Pengawas Isi Siaran (Pasal 55-64). Proses perekrutan anggota KPI dilakukan menteri dan gubernur (Pasal 105). Ini bertentangan dengan semangat demokrasi yang seharusnya menjadikan independent regulatory body seperti KPI sebagai regulator utama penyiaran sebagaimana di RUU versi DPR.
Masih ada beberapa catatan penting terhadap RUU versi pemerintah. RUU versi pemerintah di antaranya terlalu umum mengatur digitalisasi televisi, tetap mengecilkan penyiaran komunitas, dan tidak mengikutsertakan Dewan Pers dalam penyelesaian sengketa pemberitaan pers.
Kini di DPR sedang berhadapan secara diametral RUU Penyiaran inisiatif DPR yang demokratis dengan RUU versi pemerintah yang otoriter. Jika RUU versi DPR tidak dikawal secara ketat, bukan mustahil Indonesia akan kembali dalam sebuah sistem penyiaran yang otoriter. Amir Effendi Siregar, Anggota Dewan Pers (2003-2006); Dosen Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Editor : Hindra Liauw